HAKIKAT KRITIK NORMATIF :
- Hakikat kritik normatif adalah adanya keyakinan (conviction) bahwa di lingkungan dunia manapun, bangunan dan wilayah perkotaan selalu dibangun melalui suatu model, pola, standard atau sandaran sebagai sebuah prinsip.
- Melalui suatu prinsip, keberhasilan kualitas lingkungan buatan dapat dinilai.
- Suatu norma tidak saja berupa standard fisik yang dapat dikuantifikasi tetapi juga non fisik yang kualitatif.
- Norma juga berupa sesuatu yang tidak konkrit dan bersifat umum dan hampir tidak ada kaitannya dengan bangunan sebagai sebuah benda konstruksi.
(sumber : Kiki Widiy, 02 Desember 2011)
Tugas Kritik normatif metode tifikal terhadap
MENARA SIGER LAMPUNG
Kesalahan fungsi
yang diteliti oleh penulis pada Menara Siger sebagai museum adalah pembangunan Menara
Siger ini tidak diimbangi dengan penyediaan fasilitas pendukung seperti rest
area sebagai tempat beristirahat, restoran, taman dan fasilitas lainnya. Oleh
karena itu, menara ini lebih terkesan berfungsi sebagai landmark kota
dibandingkan museum. Selain itu, kurangnya kesadaran masyarakat setempat untuk
merawat bangunan ini yang berdampak terhadap
kunjungan wisatawan tidak sesuai
target yang diharapkan.
Menara
Siger dari Kejauhan
Menara Siger (sumber : dokumen
pribadi, 2014)
Menara siger
merupakan bangunan berbentuk siger yang berfungsi sebagai museum dan penanda
titik nol paling selatan Pulau Sumatra. Siger adalah mahkota yang dikenakan
oleh pengantin wanita Lampung yang berbentuk segitiga, memiliki sembilan atau
tujuh cabang dan berwarna emas. Pembangunan Menara Siger bertujuan sebagai
simbol selamat datang bagi Pulau Sumatera. Menara Siger dibangun di atas Bukit Gamping,
Kecamatan Bakauheni, Kabupaten Lampung, yang berada diketinggian 110 meter di atas permukaan
laut yang merupakan gerbang Pulau Sumatra.
Tampilan
fisik Menara Siger dibangun sesuai ciri khas Lampung. Menara Siger berupa
bangunan berbentuk mahkota terdiri dari sembilan rangkaian yang melambangkan
sembilan bahasa di Lampung. Menara Siger berwarna kuning dan merah, mewakili
warna emas dari topi adat pengantin wanita. Bangunan ini juga berhiaskan ukiran
corak kain tapis khas Lampung. Payung tiga warna (putih-kuning-merah) menandai
puncak menara. Payung ini sebagai simbol tatanan sosial. Dalam bangunan utama
Menara Siger Prasasti Kayu Are sebagai simbol pohon kehidupan (sumber :
Andryanto Wisnuwidodo, oktober 2014).
Konsep
museum ini yang bentuk siger sepertinya dinilai kurang tepat, karena Lampung
mempunyai unsur budaya yang banyak. Mengapa harus bentuk siger yang dijadikan
landmark untuk mewakili ciri khas provinsi Lampung, padahal Siger merupakan mahkota yang dikenakan
oleh pengantin wanita Lampung. Bangunan ini dinilai mengadopsi bentuk siger
tanpa melakukan transformasi bentuk, alhasil bentuk bangunan sangat tidak
arsitektural. Berikut contoh bangunan yang melakukan transformasi bentuk :
Art Science Museum "Bunga Teratai
(sumber :
Pembangunan
menara siger ini juga bertujuan untuk mendongkrak pendapatan asli daerah (PAD)
hingga 15%. Angka itu diperoleh dari perkiraan jumlah kendaraan setiap hari
3.500 unit dan 15 juta orang/tahun yang melintasi Pelabuhan Bakauheni.
"Kita ambil 15 persen saja yang singgah ke Menara Siger, maka setiap tahun
kita akan menghasilkan pendapatan Rp12,5 miliar," ujar Gubernur
Sjachroedin Z.P (Sumber: Lampung Post, Jumat, 2 Mei 2008).
Akan tetapi,
sangat disayangkan pembangunan Menara Siger belum memenuhi fungsi sebagai
museum. Jika ingin membuat museum sejarah, perancang harus mengerti konsep
penyajian ruang museum yang akan dibuat. Museum ini dinilai tidak memiliki pembagian
ruang, hanya ada satu ruang yang cukup luas dan ruangan tersebut bisa dilihat
langsung dari luar, karena dinding museum ini dikelilingi oleh dinding kaca. Manara
siger terdiri dari empat lantai, lantai pertama berfungsi sebagai museum,
lantai kedua sampai empat difungsikan hanya untuk melihat view panorama alam, dikarenakan
luas ruang di lantai tersebut cukup sempit:
Denah Menara siger L.1 dan potongan Menara siger L.2-4
(sumber : dokumen pribadi, 2016)
(sumber:
Syamsurrizal Mukhtar, November 2008)
Jika dilihat dari segi struktur bangunan, Menara Siger
menggunakan struktur atap cangkang. Struktur seperti ini rawan retak jika terjadi
gempa dan hujan dengan intensitas tinggi. Kondisi tersebut, menyebabkan atap serting
terjadi kebocoran dan pengeroposan pada material plafon di Menara Siger. Hal
ini dapat dilihat pada gambar kondisi plafon menara di bawah ini :
(sumber : dokumen pribadi, 2014)
Design
jendela pada atap bangunan yang tidak memiliki tritisan dan tidak disesuaikan
dengan kondisi lokasi bangunan yang berada di atas bukit dan tepi laut,
menyebabkan terjadinya rembesan air dari jendela ketika terjadi hujan dan angin
kencang. Hal ini menjadi faktor pendukung lain penyebab kerusakan flafon pada
atap menara, seperti pada gambar berikut :
(sumber : dokumen pribadi, 2014)
Oleh karena
itu, penulis menyarankan untuk tidak terlalu dangkal dalam mendesign sebuah bangunan
yang menggunakan konteks budaya terutama dalam hal ini budaya Lampung. Selama
ini kita hanya disuguhkan dengan budaya Lampung yang sangat sempit hanya
diwujudkan dalam bentuk siger. Sebuah kewajiban bagi seorang desainer untuk
menggali lebih jauh tentang budaya Lampung itu sendiri.